Bila dimakna secara harfiah, buzzer berarti lonceng. Namun, saat ini di era digital, istilah buzzer disebut sebagai pasukan siber. Tugas mereka melemparkan informasi dan wacana dengan tujuan menggiring opini publik atau setidaknya membentuk percakapan online. Lantas apakah Islam membolehkan seseorang menjadi buzzer?
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Saptoni mengatakan bahwa bila menilik pekerjaan yang dilakukan buzzer merupakan jasa untuk melemparkan informasi atau wacana, sesungguhnya tidak ada masalah menjadi seorang buzzer. Secara umum tidak jauh berbeda dengan strategi marketing sebagai alat pemasaran guna mendongkrak penjualan.
“Profesi buzzer sebagai sebuah pekerjaan tidak ada masalah karena buzzer berfungsi untuk memperbesar dengungan pesan. Artinya kalau tidak ada buzzer pesan yang terkirim tidak akan menjangkau audiens yang lebih luas,” ujar Saptoni dalam Tarjih Menjawab pada Jumat (14/4).
Saptoni menegaskan bahwa buzzer sebagai sebuah profesi sesungguhnya netral. Menjadi seorang buzzer akan bermasalah, jika menggunakan propaganda komputasi dan bersandar pada informasi palsu untuk tujuan politik yang memecah belah persatuan, mendatangkan kemudharatan publik, dan menyesatkan percakapan digital.
“Kalau yang didengungkan itu materi-materi yang dilarang seperti hoax, bohong, memecah belah umat yang tidak ada kemaslahatannya, maka di situ kita tidak bisa membenarkan seorang buzzer,” ucap dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Saptoni menyarankan agar menjadi buzzer dalam kebaikan, seperti menyuguhkan konten-konten dakwah dan hikmah yang merekatkan persatuan, menjauhkan kemaksiatan, dan mendatangkan kemaslahatan.
Tinggalkan komentar